Posted by: niadilova | 12/03/2012

Minang Saisuak #80 – Syekh Muhammad Djamil Djambek

ab6aeb8bb5539a604bba669af2e9b7d2_minang-saisuak-syekh-muhammad-djamil-djambek

Jika berbicara mengenai ulama dan politik di Minangkabau, maka sejarahnya sebenarnya sudah cukup panjang. Salah seorang “djago tua [dari kalangan ulama] jang meretas djalan (oprichter) dari kemadjuan di Minangkabau” – meminjam kata-kata Tamar Djaja dalam bukunya Pusaka Indonesia(1966: Jil. 2, 618) – adalah Syekh Muhammad Djamil Djambek (selanjutnya: Syekh Djamil Djambek), tokoh yang kita tampilkan dalam rubrik ‘Minang Saisuak’ kali ini.

Syekh Djamil Djambek dilahirkan di Bukittinggi tahun 1860. Ayahnya bernama Muhammad Saleh gelar Datuak Maleka, Penghulu Kepala Guguak Panjang. Ibunya berasal dari Jawa. Djamil Djambek termasuk parewa di masa mudanya, bahkan konon pandai main sihir. Namun pada usia 22 tahun ia mulai mengaji Qur’an setelah mendapat nasehat-nasehat dari Tuanku Kayo Mandiangin. Setelah belajar agama di beberapa tempat, antara lain di Koto Mambang Pariaman dan Batipuah Baruah, ia lalu pergi ke Mekah tahun 1313 H (1895/96). Di Mekah ia belajar agama kepada Haji Abdullah Ahmad, Syekh Bafadil, Syekh Serawak, Syekh Taher Djajaluddin dan Syekh Ahmad Khatib. Setelah matang dalam ilmu agama Islam, ia pun menjadi guru untuk para pendatang baru dari Hindia Belanda di Mekah. Salah seorang muridnya adalah K.H. Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan organisasi Muhammadiyah di Jawa.

Tahun 1321 H (1903/04) Syekh Djamil Djambek kembali ke Bukittinggi dan langsung terjun ke tengah masyarakat. Ia aktif berkeliling ke berbagai daerah, termasuk ke Semenanjung Malaya. Dialah ulama pertama yang memberi pengajaran dengan berpidato sambil berdiri, berbeda dengan cara biasa di mana guru duduk dan dikelilingi oleh murid-muridnya. Ia sering melakukan hal-hal kontroversial yang membuat marah ulama-ulama ortodoks. Ia menjadi seorang ahli hisab yang terpercaya hingga akhir hayatnya.

Syekh Djamil Djambek juga aktif dalam dunia pergerakan: terlibat dalam gerakan otonomi Van Indie tahun 1921, menggerakkan Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI) bersama Dr. H.A. Abdullah Ahmad, mendirikan perkumpulan Tsmaratul Ichwan, dan menjadi pengurus Komite Permusyawaratan Ulama Minangkabau (1928). Di Zaman Jepang ia juga aktif dalam perkumpulan Majlis Islam Tinggi Minangkabau. Di Zaman Kemerdekaan ia menjadi salah seorang pemimpin utama gerakan kaum Muslimin di Sumatra Barat dan diangkat oleh Pemerintah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung.

Foto ini unik: terlihat Syekh Djamil Djambek memakai satu bintang penghargaan di dadanya. Bintang emas itu adalah penghargaan yang diterimanya dari Belanda sebagai rasa terima kasih Kompeni kepada Syekh Djamil Djambek yang sudah ikut membantu Belanda memadamkan Pemberontakan Pajak di Kamang (1908). Mengenai penghargaan yang diterima Syekh Djamil Djambek dari Belanda itu, Djamaluddin Tamim dalam Sejarah PKI (1957:59) menulis: [S]yech Chatib [alias] Syech Wahab dan Syech Taher [Djalaluddin] adalah ulama anti Belanda jakni pro-politik anti pendjadjahan Belanda di Indonesia, sedang…Haji Rasul, Hadji Abdullah [Ahmad] dan Syech [Djamil] Djambek adalah sebaliknja, jakni pro-Belanda membantu/westenend/Belanda pada Perang Kamang, Djuli 1908, sehingga Syech [Djamil] Djambek mendapat Bintang Tanjung/Bintang Mas Besar bersama2 Laras Baso-Sungai Puar, Banuampu dan Laras Kota Gedang/Jahja Datoek Kajo, ajahnya Adel, sjagaf, dan Daan Jahja dll”.

Syekh Djamil Djambek wafat pada 30 Desember 1947 di Bukitinggi. Hadir dalam pemakamannya Wakil Presiden Muhammad Hatta dan banyak orang penting lainnya. Ulama yang kuat memberantas bid’ah dan khurafat itu dimakamkan di depan suraunya, Surau Tengah Sawah, yang lama sesudah kamatiannya tetap diminati oleh ramai pelajar dari berbagai daerah yang ingin menuntut ilmu agama Islam.

Suryadi Leiden, Belanda. (Sumber foto: Pedoman Masjarakat, 1938).

Singgalang, Minggu, 11 Maret 2012


Leave a comment

Categories