Posted by: niadilova | 29/03/2024

Renung #79: “Berhala” Masjid

Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 23 Maret 2024, di sebuah grup whatsapp (WA) orang Minangkabau dimana saya juga menjadi anggotanya, salah seorang anggotanya dikeluarkan oleh administrator grup WA itu, karena ia memostingkan komentar bahwa masjid sekarang sudah jadi berhala baru.

Beberapa orang anggota grup itu memprotes dan menganggap bahwa ia sudah keterlaluan berkomentar dan dianggap telah menghina agama Islam. Sebelumnya, melihat postingan-postingannya, orang ini memang agak sinis, bahkan sering sarkastik dalam mengomentari isu-isu sosial-politik lokal dan nasional yang, langsung atau tidak, terkait dengan agama Islam.

Dalam komunikasi di medsos, karena sering mengetik cepat dan tergesa-gesa, kata berhala itu pun tidak ditaruh dalam tanda kutip oleh si pemosting tersebut. Ini adalah kekeliruan yang tampaknya enteng, tetapi fatal. Bila misalnya dia menulis: “Musajik lah jadi ‘berhala baru’ pulo” (Mesjid sudah menjadi “berhala baru” pula), anggota grup WA yang cukup berpendidikan pasti paham bahwa si pemosting sedang menulis dengan gaya bahasa metafora.

Orang sering tergelincir oleh penggunaan atau penulisan kata yang tidak selektif, apalagi di zaman medsos sekarang ini. Kita tahu bahwa masyarakat Indonesia rata-rata masih berpendidikan relatif rendah dengan IQ rata-rata 78,49.

Tingkat kercerdasan sebuah masyarakat berbanding lurus dengan kemampuan mereka mencerna naratif dan memahami suatu wacana sesuai konteksnya. Lagi pula, dalam soal agama, rata-rata orang Indonesia tertutup dan cenderung reaksioner dalam menanggapi sesuatu yang dianggap mencemari agamanya. Dalam konteks ini, pengikut agama yang taklid cenderung buta tuli terhadap alegori dan metafora dalam bahasa saat berkomunikasi. Hal ini mengingatkan saya pada ucapan seseorang di medsos: bahwa orang berpendidikan dari agama yang berbeda akan lebih dapat saling memahami hakikat agama ketimbang mereka yang bodoh yang berasal dari agama yang sama.

Kasus yang dialami oleh anggota grup WA yang saya ikuti itu mengingatkan saya pada istilah “Islam Liberal” yang digagas dan dewacanakan oleh Ulil Abshar Abdalla sekitar sepuluh tahun lalu (kursif, Suryadi).

Bagi kebanyakan kaum Muslim Indonesia, kata “liberal” itu adalah kata yang mengerikan: identik dengan pemikiran bebas ala Barat. Pokoknya, kata itu dianggap sangat berbahaya dan akan dapat meruntuhkan akidah umat Islam. Padahal gagasan Ulil itu adalah mengajak umat Islam bersifat lebih dewasa dan tidak taklid buta dalam memahami dan menjalankan perintah-perintah agama.

Jadi, kasus yang dialami oleh anggota grup WA di atas jelas hanyalah soal pilihan kata (word choice). Sampai batas tertentu, barangkali komentarnya itu ada benarnya juga (sekali lagi, jika dia menulis kata berhala dalam tanda kutip).

Betapa tidak, kalau kita melihat fenomena di Indonesia sekarang, begitu antusiasnya orang-orang kaya dan masyarakat membangun masjid. Dorongan ini tampaknya sudah menjadi semacam kebutuhan. Kita tidak tahu apakah ini didorong oleh kesadaran keagamaan yang mendalam atau karena keliru.

Di banyak daerah masjid dan surau atau musala sudah melebihi kebutuhan rata-rata umat Islam setempat untuk melakukan ibadat bersembahyang bersama. Bahkan banyak masjid atau surau sebenanya sudah kekurangan jemaah. Dalam jadwal-jadwal salat wajib, masjid-masjid atau surau-surau kelihatan terlalu “besar” karena jemaah yang salat bersama hanya satu-dua saf saja.

Antara satu surau dengan surau lain ada yang begitu dekat, sehingga, disadari atau tidak, timbul eksklusivitas di antara para jemaah. Padahal umat Islam dianjurkan untuk membangun semangat kebersamaan.

Dulu, di Minangkabau, di satu nagari hanya boleh ada satu masjid. Ini dimaksudkan agar semangat ukhuwah dan kebersamaan warga nagari terbina dan terjaga. Tapi sekarang ada surau di satu nagari yang ingin diubah statusnya, malah ada yang sudah diubah, menjadi masjid. Para generasi muda pemimpin nagari sekarang lupa hakikat di balik prinsip bahwa hanya boleh ada satu masjid dalam satu nagari di Minangkabau. Politik pemekaran nagari telah ikut menyumpang pada kecelaruan ini.

Sering pula dua masjid atau surau di datu daerah dibuat tidak begitu jauh satu sama lain lantaran ada perbedaan paham antara tuanku-tuanku atau ulama di daerah tersebut. Dalam konteks Minangkabau, hal ini secara historis sudah dicatat dengan cukup rinci oleh B.J.O. Schrieke dalam bukunya Pergolakan Agama di Sumatra Barat: Sebuah Sumbangan Bibliografi (Penerjemah: Soegarda Poerwakawatja), Jakarta: Bhratara, 1973.

Mengapa orang-orang kaya lebih suka membangun masjid yang mewah-mewah di daerah perkotaan yang sudah “kelimpahan” masjid (rumah ibadah). Sementara kita mengetahui lewat postingan-postingan di medsos, masih banyak umat Islam di daerah-daerah terpencil di negara ini yang, jangankan memiliki masjid, musala saja belum punya. Masih banyak saudara-saudara Muslim kita di pedalaman Halmahera, Sumbawa, Flores, dan Papua hanya punya musola darurat yang dibuat dari kayu. Ada juga penduduk suku Bajau di salah satu pulau yang memiliki musala tapi bertahun-tahun pembangunannya tak pernah dapat diselesaikan karena kekurangan dana.

Mengapa orang-orang kaya dengan fulus dan harta berlimpah itu tidak tergerak hatinya untuk membantu saudara-saudara seimannya yang lebih memerlukan pertolongan untuk membangun rumah ibadah seperti mereka yang tinggal di daerah-daerah terpencil itu? Apakah donasi mereka untuk kaum Muslim di daerah-daerah terpencil itu diberi reward pahala yang lebih kecil ketimbang membangun masjid mengkilat nan sangat lux di kota-kota?

Melihat kecenderungan inilah, saya menduga, si pemosting yang didepak dari grup WA itu berpikir bahwa masjid-masjid sudah jadi “berhala baru” sekarang–di sini saya menaruh kata itu dalam tanda kutip agar pembaca memaknainya secara konotatif.

Sementara itu, muncul pula wacana-wacana untuk mengubah nama masjid yang sudah ada. Si pemosting itu berkomentar: untuk apa? Seperti halnya si pemosting yang di-remove itu, saya melihat ide-ide ini sering lebih bersifat politis ketimbang murni soal agama.

Untuk apa orang-orang kaya membangun masjid di kota-kota yang sudah memiliki banyak rumah ibadah? Bahkan ada masjid mewah seperti itu yang dibangun di hutan. Sering masjid-masjid itu kelihatan sangat eksusif, berpagar batu, dan pintunya lebih sering tertutup ketimbang terbuka, dan sering tidak ramah kepada anak dagang yang kemalaman atau sekadar berhenti untuk mengaso. Masjid-masjid seperti itu ingin dijadikan sebagai lambang apa oleh si pembangunnya?

Melihat kecenderungan ini, mungkin ada yang berpikir bahwa jangan-jangan membangun masjid-mesjid mewah yang ekslusif di kota-kota itu adalah cara untuk menunjukkan kebesaran, kekuasaan, dan kedigdayaan diri melalui ranah agama, kilasan dari ke-riya-an. Jika ini yang ada dalam pikiran para pemilik uang dan harta berlimpah itu, sementara mereka mengabaikan orang-orang miskin yang hidup di sekitar masjid-masjid dengan ubin mengkilat dan lampu-lampu porselen yang mewah itu, baik yang seagama dengan mereka ataupun yang beragama lain, maka kita khawatir mereka telah mengambil jalan yang keliru untuk merayu dan mendapatkan bau sorga dari Tuhan.

Apakah jika orang-orang kaya tersebut membangun sebuah musala untuk saudara-saudara sesama Muslim mereka di pedalaman Halmahera sana, misalnya, bepikir bahwa nilai amalnya lebih kecil di mata Allah s.w.t. ketimbang membangun masjid mewah berlantai marmer mengkilat di kota?  

Kiranya benar apa yang dikatakan Tamar Djaja lebih 60 tahun lalu: “Yang terasa kurangnya usaha umat Islam sejak dulu sampai sekarang ialah mengenai zending”. Dalam tulisannya yang bejudul “Zending Islam” yang diterbitkan di majalah Aliran Islam. Suara Kaum Progresif Berhaluan Radikal, No. 51, Tahun Ke VII, Agustus 1953: 57-60 (lihat: https://niadilova.wordpress.com/2016/02/01/zending-islam/), cendekiawan dan jurnalis Minangkabau yang prolifik itu mengeritik perihal kurang kuatnya kemauan para pemuka agama Islam untuk memperkuat eksistensi agama Muhammad ini di daerah-daerah terpencil di Indonesia, berbeda dengan para misionaris Nasrani yang dengan berani dan teguh hati dan iman pergi daerah-daerah yang bahkan sangat terisolir untuk mengembangkan agama Kristen.

Semangat zending Islam seperti yang ada dalam jiwa Buya Mas’oed Abidin di Sumatera Barat, yang sangat giat mengusahakan dan mengorganisir berbagai bantuan untuk umat Islam di Kepulauan Mentawai, seyogianya ada dalam dada setiap ulama Indonesia, juga orang-orang kaya yang kelimpahan duit yang suka membangun masjid,

Muslim Indonesia yang kaya dengan harta sesungkup langit, bisa menjadi “zending Islam” –meminjam kata-kata Tamar Djaja: yaitu dengan membantu saudara-saudara sesama Muslim mereka di daerah-daerah terpencil di negara ini, yang lebih membutuhkan bantuan, baik untuk membangun rumah ibadah ataupun untuk meningkatkan ekonomi mereka.

Jika mereka–para muslim kaya berlindak itu–masih lebih cenderung untuk membangun masjid-masjid mewah di kota-kota yang sudah memiliki lebih dari cukup rumah ibadah, dengan niat mendapat pujian, sanjungan, dan tepukan tangan dan sorak-sorai orang banyak, maka saya khawatir apa yang dikatakan si pemosting malang yang ditendang keluar dari grup WA-nya itu benar: bahwa masjid-masjid sudah menjadi semacam “berhala baru” bagi segelintir orang.

Leiden, Jumat 29 Maret 2024


Leave a comment

Categories