Posted by: niadilova | 13/03/2017

‘Rabab Pariaman’: Senjakala Sebuah Genre Sastra Lisan Minangkabau

Foto 7Kalau bamalang malang untuang,
 Indak samalang untuang kami,
Ibaraik batu jatuah ka lubuak,
Lameh tak sia ka manyilami.”

Januari lalu, saya berbincang dengan Sofyan Effendi (Pian ), seorang penampil indang tradisi Pariaman di Lubuk Alung. Pian adalah salah seorang penggiat mediatisasi genre-genre sastra lisan Minangkabau di Rantau Pariaman, khususnya indang dan rabab Pariaman, ke dalam media modern. Ia menghubungkan para penampil kesenian tradisional Minangkabau di Kabupaten Padang Pariaman dengan perusahaan rekaman daerah Sumatera Barat, khususnya Sinar Padang Record di Padang pimpinan H. Yuskal.

Salah satu genre yang direkam dalam keping VCD adalah rabab Pariaman. Namun, genre ini boleh dibilang berada dalam kedaan terancam punah karena kelangkaan generasi penerus penampilnya. Menurut Pian, sekarang hanya tinggal 5 orang tukang rabab Pariaman  di Kabupaten Padang Pariaman. Genre ini identik dengan daerah Lubuk Alung, khususnya nagari Salibutan, dan Padang Alai. Entah kenapa genre ini tidak berkembang di nagari-nagari lain di Rantau Pariaman.

Salah seorang tukang rabab senior generasi terakhir adalah Amir Hosen, yang meninggal tahun 2014 setelah menyelesaikan rekaman VCD komersial sebanyak 20 volume yang diproduksi Sinar Padang Record. Itulah persembahan terakhir Amir Hosen sebelum beliau dipanggilNya. Wafatnya seorang penampil sastra lisan ibarat terbakarnya sebuah perpustakaan. Manun, tak terdengar adanya berita belangsungkawa dari otoritas daerah. Sebelumnya, pada tahun 1990an, kaset komersial pertunjukan Amir Hosen dan beberapa tukang rabab dari generasinya, seperti  Aly Umar, juga sudah diproduksi oleh Tanama Record (Suryadi 2014).

Foto 4.jpg

Saya masih ingat ketika mewawancarai Amir Hosen di rumahnya di Salibutan pada tahun 1996. Hasil observasi saya itu menghasilkan dua tulisan: “Rabab Pariaman: Satu ragam seni bercerita di pesisir barat Minangkabau”, Seni V/1-2 (ISI Yogyakarta) (1996): 82-96 dan “Rabab Pariaman”, dalam: John McGlynn and Goenawan Mohamad (series eds.), Language and Literature, Indonesian Heritage Series, Vol. 9, pp. 66-7. Singapore: Archipelago Press, 1998. Tahun 1992 Witnayetti (UNAND) juga menulis skripsi tentang genre ini. Tulisan-tulisan itu adalah sedikit dari langkanya risalah akademik tentang rabab Pariaman.

Di samping deskripsi saya dalam Indonesian Heritage Series di atas, juga ada sebuah cuplikan pertunjukan rabab Pariaman yang direkam Philip Yampolsky dari Smithsonian Institution (AS) dalam seri Night Music from West Sumatra (1994). Kiranya dokumentasi ilmiah dan audio itu dapat menjadi referensi internasional untuk mengetahui rabab Pariaman yang berada dalam bayang-bayang kepunahan.

Foto 5

Kekhawatiran akan lenyapnya rabab Pariaman cukup beralasan, walaupun sudah dikaset-/VCD-kan secara komersial. Rabab Pariaman adalah genre yang ‘kaku’, dalam arti baik teks maupun struktur pertunjukannya relatif tidak berubah selama ini. Seni bercerita dengan teks berbentuk prosa lirik ini pada bagian-bagian tertentu mengandung unsur pantun, seperti pada bagian pembukaan, pengalihan cerita, dan pada bagian penutup. Pantun-pantun itu berfungsi pula sebagai formulaic expression.

Teks rabab Pariaman meliputi dua jenis: raun sabalik yang bersifat non kaba dan kaba. Teks raun sabalik terdiri dari untaian pantun yang mambilang  nagari-nagari di Rantau Pariaman. Raun sabalik  ini adalah semacam historiografi lisan tentang Rantau Pariaman: ia mencatat keunikan tiap nagari di Rantau Pariaman.

Kaba yang diceritakan dalam rabab Pariaman umumnya berciri klasik: cerita yang berlatar kerajaan dengan wira-wira yang memiliki kekuatan supranatural, seperti ‘Kaba Gombang Patuanan’ (sering juga disebut ‘Kaba Sutan Pangaduan’), ‘Kaba Sutan Binu Alim’, ‘Kaba Anggun Nan Tongga Magek Jabang’, dan ‘Kaba Sutan Gando Hilang’. Kabakaba tersebut sangat bernuansa maritim, merefleksikan posisi geografis Rantau Pariaman yang memang langsung berbatasan dengan Samudera Hindia.

Satu-satunya kaba non klasik yang diceritakan dalam rabab Pariaman adalah ‘Kaba Siti Baheram’. Kaba ini didasarkan atas peristiwa pembunuhan Siti Baheram oleh penjudi si Joki dan anak buahnya si Ganduik di Sungai Pasak Pariaman “pada petang Saptoe malam Minggoe 11 djalan 12 November” 1916 (Sinar Sumatra, edisi Kemis 16 November 1916).

Foto 6

Baik repertoar maupun struktur pertunjukan rabab Pariaman relatif  tetap. Ini berbeda misalnya dengan rabab Pesisir Selatan yang, baik dari segi teks maupun struktur pertunjukan, terkesan cukup lentur dan dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Dulu, rabab Pesisir Selatan (Rabab Pasisia) dan rabab Pariaman dipertunjukkan secara solo (penampil tunggal). Tapi sekarang rabab Pesisia biasa pula dipertunjukkan oleh dua orang penampil, dan tukang rabab dari generasi yang  lebih belakangan membuat kaba-kaba dan lagu-lagu baru yang bernuansa modern sebagai akibat pengaruh budaya pop. Dengan demikian, bahasa teks rabab Pasisia pun berubah: banyak kata-kata baru muncul dalam teksnya.

Tidak demikian halnya dengan rabab Pariaman. Sampai sekarang, pertunjukannya tetap ditampilkan secara solo: penampil memainkan alat musik rabab galuak sekaligus berdendang (menceritakan kaba) yang repertoarnya tidak pernah bertambah. Bahasanya pun tetap kental memakai Bahasa Minangkabau Dialek Pariaman. Demikian pula halnya dengan lagu-lagu yang dipakai yang masih tetap klasik, seperti lagu dendang panjang, lagu pelayaran, dan lagu ampek-ampek. Ini berbeda misalnya dengan lagu-lagu dalam pertunjukan rabab Pasisia yang sekarang ini banyak mengadopsi lagu-lagu populer dalam ranah musik pop Minang.

Sekarang tidak ada anak muda yang tertarik lagi untuk belajar rabab Pariaman. Am dari Salibutan Lubuk Alung adalah satu-satunya tukang rabab Pariaman yang relatif agak muda usianya. Dr. Ediwar dari ISI Padang Panjang mengatakan kepada penulis bahwa rabab Pariaman pernah diajarkan di institusi pendidikan seni terkemuka di Sumatera Barat itu. Tapi belakang sudah terhenti karena ketiadaan minat dari mahasiswa dan karena alasan lain.

Jika tidak ada generasi tukang rabab pelapis Monen dan Mayur yang kini sudah berusia 50 tahun lebih, dikhawatirkan rabab Pariaman akan tinggal nama. Terkilat kekhawatiran itu dalam bait pantun Monen dalam VCD Seri 1 ‘Kaba Sutan Pangaduan’ yang diproduksi Sinar Padang Record (2014) untuk menggambarkan keadaan ini:  “Nan ka hulu ka rimbo jati / Singgah ka Pulau Bilang-bilang / Padi di baruah rabah balun / Rabah tak kama dikepohkan //Mako gak rusuah dalam hati / Guru mati surek lah hilang / Kaji lamo tabaliak balun /Lupo tak kama ditanyokan.”

Di tengah eforia modernisme dalam masyarakat kita, termasuk dalam hal seni, yang cenderung memandang kesenian tradisional sebagai sesuatu yang ketinggalan zaman, bahkan sering pula diperolok-olokkan oleh oknum generasi muda yang mabuk modern gila Barat, nasib rabab Pariaman benar-benar berada di ujung tanduk. Sekarang makin jarang orang menanggap pertunjukan rabab Pariaman. Dalam pesta-pesta baralek (perkawinan), misalnya,  tuan rumah lebih suka menampilkan hiburan orgen tunggal yang mengumbar syahwat itu.

Kiranya tepatlah ungkapan berkias dalam pantun yang disampaikan Amir Hosen untuk menggambarkan kondisi rabab Pariaman kini yang makin termarginalkan oleh jenis-jenis kesenian modern:  “Rami balai e Limau Puruik /Ka balai anak Kuraitaji/ Naiak ka lapau minum makan //Iko tando e hari laruik/Manangih goreng di kuali/Godok lah lapeh ka manisan; Urang Solok pai ka Pakan / Babaju ragi malereng / Ka dibari bajaik sangkuik / Godok lah lapeh ka manisan / Ka baa kolah untuang goreng /Duyan bagolek jo sipuluik.” (Amir Hosen,Kaba Sutan Pangaduan, Sinar Padang Record, 2014, VCD Seri 15).

Foto 2

Dalam keadaan seperti itu, kelangsungan hidup sastra lisa rabab Pariaman sangat ditentukan oleh kebijakan Pemerintah Daerah (Kabupaten Padang Pariaman / Provinsi Sumatera Barat) di bidang seni budaya. Apakah Pemerintah akan membiarkan saja genre ini terpinggirkan atau ada upaya revitalisasi melalui program yang terencana?

Hemat saya, sepatutnyalah Pemerintah (melalui Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat / Kab, Padang Pariaman) atau Dewan Kesenian memberi apresiasi kepada para penampil rabab Pariaman (dan genre-genre lisan Minangkabau lainnya).  Di Indonesia ada Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) yang  memberi perhatian pada tradisi lisan di berbagai daerah. Tapi kemampuan organisasi itu sangat terbatas. Dan targetnya lebih kepada upaya agar genre-genre tertentu diakui sebagai warisan dunia oleh UNESCO. Para akademisi (UNAND, ISI Padang Panjang, UNP) tentu perlu pula melakukan pendokumentasian menyeluruh serta penelitian lanjutan terhadap genre ini.

Semoga akan ada tindakan yang lebih nyata dari Pemerintah, misalnya dengan mengadakan festival dan memberikan penghargaan kepada penampil genre ini (dan genre-genre sastra lisan Minangkabau lainnya), sebagaimana telah digagas oleh Yayasan Pusako Minangkabau (YPM) tahun lalu, perlu dilanjutkan dan diwiridkan secara periodik. Pemerintah seharusnya malu bahwa inisiatif pemberian penghargaan itu justru datang dari sebuah yayasan swasta seperti YPM.

Foto 3

Upaya-upaya promosi rabab Pariaman (dan genre-genre lisan lainnya) melalui iven-iven pariwisata dan juga dengan ‘menerjemahkan’ repertoarnya ke dalam berbagai genre lain (komik, film, diorama, tari, teater, dll.) tentu akan membuat genre ini tetap mendapat perhatian oleh masyarakat kita.

Jika upaya-upaya itu tidak dilakukan, maka apa yang disiratkan Amir Hosen (ibid.) dalam pantunnnya yang dikutip di awal esai mungkin akan jadi kenyataan: rabab Pariaman nantinya “ibaraik batu jatuah ka lubuak, lameh tak sia ka manyilami.” Ia akan mati, punah.

*Esai ini diterbitkan di harian Padang Ekspres, Minggu, 12 Maret 2017, rubrik ‘Cagak Utama’.


Leave a comment

Categories