Posted by: niadilova | 14/05/2012

KPM #80 – KALAU ENGGAN APA GUNANYA?

Dalam pertunjukan sastra lisan, ruang (space) adalah aspek yang amat penting. Seorang tukang cerita memiliki teknik dan strategi tertentu dalam menggambarkan ruang kepada khalayaknya (audience), supaya khalayak bisa dirayu ‘masuk’ ke dalam peristiwa cerita. Ada penggambaran ruang yang kuat lewat gesture (gerak tubuh), tapi ada yang yang kuat lewat kata (naratif). Barangkali kecenderungan kedua ini ada pada teks pantun, sebagaimana dapat kita kesan dalam nomor-nomor terdahulu maupun dalam nomor ini.

617.

Urang Padang makan antimun,

Dimakan di Ikua Koto,

Jangan mamang di angin ka turun,

Padoman ada pado kito.

618.

Salampuri labiah bajua,

Labiah pangabek pinggang Sutan,

Hati hati pelang kalua,

Pincalang banyak di lautan.

619.

Alang manyemba sikok mandi,

Ruruik salibu bao pulang,

Larang mandapek sifat hati,

Dalam saribu Tolan sorang.

620.

Tampuruang tigo matonyo,

Dibao Sutan ka ka Jambi,

Kok dapek sipaik hatinyo,

Sampailah anak umaik Nabi.

621.

Nak ka hulu naiak sikoci,

Ka ilia manyasah banang,

Kok lah nyo dapek sipaik hati,

Tujuah rantau lauiktan tanang.

622.

Den jirek mako den ukua,

Angguak-anggak talingo banang,

Kok tak dapek hati saukua,

Tujuh rantau lauiktan genggang.

623.

Gajah nan dari  Indopuro,

Makan ka bukik Arak Api,

Manyasok ka bilang-bilang,

Mari den halau kasadonyo,

Batanyo Ambo di ‘rang siko,

Lai ka sungguah iduik mati?

Lai ka tunggang samo ilang?

Jikok anggan apo gunonyo?

624.

Pinang sinawa lacak panuah,

Tibo di bawah lacak hati,

Ilang jo nyao kami namuah,

Antah kok anggan Tuan mati.

Bait 617 mengandung pesan agar kita berani menantang arus kehidupan. Jika pedoman hidup sudah jelas, mudah-mudahan situasi yang paling buruk pun yang datang menghadang akan dapat diatasi. Bait selanjutnya (618) tentu sudah jelas pula maksudnya bagi si Minangkabau yang tahu di bayang kata sampai: jika orang besar dan berkuasa (pelang) lewat, maka janganlah semena-mena saja, ingatlah orang-orang kecil (pincalang) yang akan terkena. ‘Kok gadang jan malendo’, kata orang tua-tua kita dulu. Bagaimanakah kini sifat orang ‘gadang’ di negeri ini? Entahlah! Rebab sajalah yang akan menyampaikan.

Bait 619 dan 620 menggambarkan pujian kepada seorang (wanita) yang berhati sangat mulia, yang sulit didapat jarang tersua – pokoknya barang langka.

Orang yang berhati mulia, tidak diragukan lagi, adalah umat Nabi Muhammad SAW (bait 621). Siapa saja yang berhasil mempersuntingnya akan memperoleh setengah surga ketika hidup di dunia. Orang yang berhati mulia seperti itu mendamaikan orang lain yang hidup di sekitarnya dan menjadi rahmat bagi lingkungan sekitarnya (‘tujuh rantau lautan tenang’).

Tapi dalam konteks bait di atas juga bisa bermakna bahwa jika Anda mendapatkan seorang pasangan yang hatinya sangat baik, maka jiwa Anda akan tenang dan bahagia. Hal sebaliknya digambarkan dengan perumpamaan yang bagus dalam bait 622: jika mendapat pasangan yang tidak sesuai di hati, maka jiwa akan gelisah, hidup akan menjadi neraka dunia, dan jiwa serta pikiran selalu akan kacau-balau (‘tujuh rantau lautan bergelora (genggang)’).

Bait 623 yang delapan baris meminta komitmen kesetiaan dari si dia sebelum cincin tunangan dipertukarkan: jika memang mau hidup bersama dengan saya, apakah Anda bersedia sehidup semati? Kalau tidak, apa gunanya? Kalau ragu-ragu, lebih baik dari sekarang katakan tidak. Dengan kata lain, si dia mempertanyakan komitmen jangka panjang hati Anda.

Jawaban pasti dari si dia rupanya terpapar dalam bait akhir (624): ‘hilang pun nyawa, kami berani, entah Tuan yang enggan dalam hati’ balasnya. Rupanya ancik kaa kalah, podo sajo indak namuah nyo doh. Kalau begitu, tampaknya sudah sesuai satu sama lain, hati sudah saling cocok, tekad sudah sama bulat. Lebih baik karajo baiak dipacapek, jangan digantung lama-lama.

(bersambung minggu depan)

Suryadi [Leiden University, Belanda] Padang Ekspres, Minggu, 13 Mei 2012


Leave a comment

Categories