Posted by: niadilova | 07/05/2012

KPM #79 – ORANG ARIPAN ‘TALI ANDANG-ANDANG’

Banyak hal dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Minangkabau yang dapat disampaikan dalam pantun. Paling menarik juga melihat rekaman ciri-ciri atau kebiasaan di satu nagari dalam pantun. Sampai batas tertentu kita juga dapat melihat ekspresi rivalitas dan kontestasi dan juga kerjasama antar nagari dalam pantun-pantun klasik Minangkabau. Rangkaian pantun yang kami sajikan di nomor ini mungkin sudah jarang terdengar oleh kita sekarang.

610.

Cubadak di ateh tabiang,

Sabuah tangah halaman,

Nan congkak di Kampung Kaliang,

Nan jauah di Pariaman.

611.

Elok suraunyo Koto Kaciak,

Batang inai ambiak kapapan,

Elok pulaunyo ‘nak ‘rang Kasiak,

Muaro Pingai jadikan sampan.

612.

Batang inai tarah kapapan,

Ambiak padi junjuang limbayuang

Muaro Pingai jadikan sampan,

Sadonyo jadi anak dayuang.

613.

Batang inai junjuang limbayuang,

Parak tingga kabun galundi,

Sadonyo jadi anak dayuang,

Singkarak jadi jurumudi.

614.

Parak tingga kabun galundi,

Ditanam di tangah ladang,

Singkarak jadi jurumudi,

Urang Aripan tali andang-andang.

615.

Lai moh elok buah inai,

Bulek-bulek bak buah aka,

Cameh tampaknyo Muaro Pingai,

Maadang aruih Saniangbaka

616.

Tariak batu pungkanglah pauah,

Ambacang sarangkai limo,

Jurubatu bongkalah sauah,

Binjek layia badai lah tibo.

Bait-bait di atas menggambarkan secara berkias kerjasama antar nagari dengan memakai perumpamaan alat perlengkapan sampan (perahu). Pantun-pantun di atas disusun dengan format pantun berkait, dimana bait kedua pada satu bait menjadi bait pertama pada bait berikutnya.

Kita merasakan suasana bahari ketika membaca bait-bait di atas. Juga ada perasaan hubungan erat antara darek (khususnya daerah Solok) dan rantau (Pariaman) dalam rentetan bait-bait di atas. Pantun-pantun tersebut menggambarkan beberapa nagari yang akrab dengan air: Danau Singkarak di darek (Solok) dan Lautan Hindia di Pariaman. Sebagai bagian dari sastra lisan, pantun menunjukkan kedekatan simbolik dengan alam.

Bait 610 sepertinya mencatat orang-orang yang berkuasa di Kampuang Kaliang Pariaman pada masa lampau. Barangkali ada ‘raja kecil’ atau penguasa lokal yang berpengaruh yang dulu tinggal di sana. Kampuang Kaliang adalah sebuah enclave di kota Pariaman, terletak agak ke pantai, tempat tinggal orang-orang keturunan Tamil dari India Selatan. Besar kemungkinan mereka hijrah ke Pariaman dari Bengkulu, sebagaimana digambarkan dalam sejarah tabuik di Pariaman. Dikatakan bahwa budaya tabuik dibawa oleh pasukan Tamil dalam garnizun Inggris yang melakukan desersi karena mereka tak mau dipindahkan oleh Raffles ke Singapura yang berawa-rawa penuh nyamuk dan buaya.

Bait 611-615 merupakan rangkaian suatu ‘cerita’: narasi yang juga mengandung hakekat sindiran yang mengiaskan fungsi nagari-nagari tertentu seperti perlengkapan sebuah biduk atau perahu. Masyarakat Minangkabau yang akrab dengan alam perairan, seperti penduduk yang tinggal di sekitar Danau Singkarak dan di rantau barat seperti di Pariaman, Tiku, dll., tentu sangat paham segala alat-alat kelengkapan perahu. Tanpa alat-alat kelengkapan itu, sebuah perahu tentu tidak bisa berfungsi dengan baik.

Pulau Kasiak yang elok di lepas pantai Pariaman itu baru bisa dicapai jika orang Muaro Pingai menyediakan sampan dan anak dayung (611 & 612). Perjalanan ke pulau itu akan lancar jika dipandu oleh jurumudi asal Singkarak yang terkenal sangat campin mengarungi Danau Singkarak untuk mencari ikan (613). Dan pelayaran itu akan dapat memanfaatkan angin secara maksimal jika orang Aripan yang memegang tali andang-andang, yaitu tali yang digunakan untuk mengendalikan layar perahu.

Ekspresi kontestasi antar nagari terkilat dalam bait 614 : ‘Cemas kelihatannya Muaro Pingai menghadang arus Saniangbaka’. Seperti masih dapat dikesan sampai sekarang, nagari-nagari di Minangkabau hidup dalam suasana demokratis, oleh karenanya potensial terlibat dalam persaingan untuk saling menunjukkan identitas dan gengsi masing-masing.

Dalam bait 615 telah sama tahu kita kemana arah kata kiasan itu: bersiaplah menghadapi ujian berat yang telah menghadang di depan. Dengan kata lain, cepat tanggap dalam menghadapi situasi darurat. Ini cocok benar dengan situasi sekarang, di saat negeri ini sering digoyang gempa – gempa bumi, gempa ekonomi, dan juga gempa politik. Tetaplah ‘ingek sabalun kanai, kulimek sabalun abih’ – pesan dari Minangkabau generasi terdahulu yang tetap relevan untuk kehidupan kita sekarang.

(berambung minggu depan)

Suryadi [Leiden University, Belanda] Padang Ekspres, Minggu, 6 Mei 2012


Leave a comment

Categories