Posted by: niadilova | 06/04/2020

PPM #251: Mantan Residen Sumatra’s Westkust J.D.L. le Febvre Meninggal Dunia (1955)

    “De heer J.D.L. le Febvre overleden.

     LAREN, Woensdag (ANP). – Te Blaricum is op 85-jarige leeftijd overleden de heer J. D. L. le Febvre, oud-resident van Sumatra’s Westkust. Hij was de pionier van de arbeidsinspectie in Deli, waarbij hij veel tegenwerking van de planters ondervond.

     De heer le Febvre was een grootvriend van wijlen mr P. J. Troelstra en van Mohammed Hatta, de huidige vice-president van Indonesië. In zijn boek “Indonesische Overpeinzingen” noemde Sjahrazad (Soetan Sjahrir) de heer Le Febvre de “vader van de Indonesiërs”. 

***

Salinan berita dari surat kabar Het Parool [Amsterdam] edisi 10 Agustus 1955 yang melaporkan tentang meninggalnya mantan Residen Sumatra’s Westkust (Sumatra Barat) J.D.L. Le Febvre. Johan David Leo Le Febvre, demikian nama lengkapnya, meninggal pada hari Sabtu 6 Agustus 1955. Dan sesuai dengan pesan almarhum ketika masih hidup, kremasi jenazahnya telah dilakukan dalam keheningan (Algemeen Handelsblad [Amsterdam], 09-08-1955).

Terjemahan bebas laporan koran Het Parool di atas sbb:

Mr. J.D.L. le Febvre meninggal.

LAREN, Rabu (ANP). – Pada usia 85, telah berpulang di Blaricum [Provinsi Noord Holland], Tuan J.D. le Febvre, mantan Residen Sumatra Barat. Dia adalah pelopor inspeksi tenaga kerja [buruh kontrak] di Deli, tempat dia menghadapi banyak tentangan dari para pengusaha perkebunan.

Tuan Le Febvre adalah teman baik Tuan P. J. Troelstra dan Mohammad Hatta, Wakil Presiden Indonesia saat ini. Dalam bukunya “Renungan Indonesia”, Shahrazad (Sutan Shahrir) menyebut Le Febvre sebagai “bapak orang Indonesia”.

Sebagaimana dapat dikesan dari laporan Het Parool di atas, rupanya Le Febvre adalah seorang pejabat kolonial Belanda yang bersimpati kepada rakyat jajahan, dalam konteks ini orang Minangkabau.

J.D.L. Le Febvre memulai karirnya dalam dinas BB Hindia Belanda pada tahun 1892. Mula-mula ia diperbantukan pada Kontrolir Oud Agam di Fort de Kock (Bukittinggi). Setelah itu ia diperbantukan pada Asisten Residen Lima Puluh Kota di Payakumbuh. Kemudian ia dipindahkan ke Batusangkar dan Sijunjung. Pada 1900, ia diangkat menjadi kontrolir kelas 1. Ia sempat berdinas pula di Tapanuli dan Bengkulu. Akhirnya ia menjadi Asisten Residen Tanah Datar (berkedudukan di Sawahlunto). Pada 1915 ia diangkat menjadi Residen Sumatra Barat menggantikan Gubernur J. Ballot (waktu itu Sumatra’s Westkust berstatus sebagai sebuah provinsi) (Rusli Amran, Cerita-Cerita Lama dalam Lembaran Sejarah, 1997:81).

Le Febvre menjadi Residen Sumatra’s Westkust sampai 1919. Ia dipecat dari jabatannya karena dinilai sangat pro rakyat jajahan (orang Minangkabau) dan dipaksa pensiun dini. Posisinya digantikan oleh Asisten Residen W.A.C. Whitlau.

Le Lebvre dikenang sebagai teman orang Minangkabau. Kebijakan-kebijakan politiknya yang pro rakyat Minangkabau itulah yang menyebabkan dia dicopot dari kursi Residen Sumatra Barat. Walau coba dibela oleh Minister van ColoniënThomas Bastiaan Pleyte, keputusan Gubernur Jenderal J. van Limburg Stirum di Batavia tidak bisa diubah: Le Febvre tetap dipecat   disuruh pulang ke Belanda.

Ketika Hendrikus Colijn menjadi Minister van Coloniën, Le Febvre terpaksa mengungsi ke Jerman (Hamburg) karena digencet di negerinya oleh kaum berkuasa yang bermental sangat kolonialis. Mohammad Hatta dan Baginda Dahlan Abdoellah mengunjungi Le Febvre pada liburan Natal 1921 di Hamburg (lihat: Mohammad Hatta,. 2011. Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi; Bukittinggi – Rotterdam lewat Betawi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, Jilid, 2011:151-53).

Rusli Amran dalam bukunya yang sudah dirujuk di atas menulis: “J.D.L. Le Febvre adalah dari kalangan sosial demokrat dan apa sebabnya Hindia Belanda kecolongan mengangkat seorang sosialis sebagai residen, kita tidak tahu.” Yang jelas, kebijakan2 politiknya yang dianggap kontroversial karena sering membela kepentingan rakyat Minangkabau telah membuat dia memiliki banyak musuh di kalangan white ruling class (orang Belanda) di Hindia Belanda. Di masa ia menjabat sebagai Gubernur Sumatra Barat, ia mengubah tradisi resepsi di kalangan petinggi negeri dengan mengundang para elit pribumi ke acara-acara di Gubernuran. Hal itu mendapat banyak tantangan dan cemooh dari rekan-rekan Eropanya.

Kenangan-kenangan Le Febvre selama bertugas di Sumatra Barat dinukilkannya dalam sebuah memoir yang tampaknya ditujukan untuk keluarga yang manuskripnya yang masih penuh coretan kini tersimpan di Algemeen Rijksarchief (ARA) Den Haag. Memoir yang tampaknya sangat jarang disentuh peneiti itu berisi banyak informasi mengenai pandangan Le Febvre terhadap sistem administrasi dan politik represif kolonial Belanda di Sumatra Barat. Kiranya para sejarawan perlu menggunakan memoir itu sebagai sumber primer dalam menyusun sejarah Minangkabau. Alangkah rancaknya pula kalau memoir itu bisa diterbitkan.

Le Febvre adalah teman baik P.J. Troelsra (tokoh penting Sociaal-Democratische Arbeiderspartij/S.D.A.P. Belanda). Ia juga teman baik Bung Hatta yang sudah mengenalnya ketika Wakil Presiden Pertama Indonesia itu masih remaja dan bersekolah di Padang (lihat: De Telegraaf [Amsterdam, 10-08-1955).

Sebagaimana dirujuk oleh koran Het Parool di atas, Soetan Sjahrir yang memakai nama pena ‘Sjahrazad’ menyebut Le Febvre dalam bukunya Indonesische Overpeinzingen (renungan Indonesia) (1945) sebagai “de vader van Indonesiërs” (bapak orang Indonesia).

Demikianlah sedikit kisah tentang Johan David Leo Le Febrvre (1870-1955). Kenangan terhadapnya mungkin sudah hapus di kepala kebanyakan orang Minangkabau kini. Tapi apa yang diperbuat manusia ketika hidup di dunia ini, terlepas dari label apapun yang dilekatkan oleh manusia lainnya kepadanya, nilai raport-nya ada di tangan Tuhan.

Suryadi, MA, PhD – Leiden University, the Netherlands / Padang Ekspres, Minggu 5 April 2020


Responses

  1. Izin disalin di blog kami engku Suryadi..

  2. […] Suryadi, MA, PhD – Leiden University, the Netherlands / Padang Ekspres, Minggu 5 April 2020 […]


Leave a comment

Categories