Posted by: niadilova | 18/11/2019

PPM #232: “Ayah” Orang Minangkabau, Soetan Mohamad Salim, Wafat (1934)

De “Vader” de Minangkabauers

      Soetan Moh. Salim †

     In den ouderdom van 84 jaar is 5 November jl. te Medan na een langdurig ziekbed, verscheiden Soeatan Mohamad Salim, out hoofddjaksa van Riouw en laatstelijk lid van den Landraad te Medan.

     Met Soetan Mohamad Salim, die door alle Minangkabauers Boeja (vader) werd genoemd, is één der merkwaardigste Minangkabausche figuren heengegaan, aldus lezen wij in de Sum. Post.

     Zonder ooit school te hebben gegaan, kwanwijlen Soetan Mohamad Salim reeds op zeer jeugdigen leeftijd – ongeveer 68 jaar geleden – in Gouvernements dienst. Men kan van hem wel zeggen, dan hij zich het lezen en schrijven in dezen dienst had eigen gemaakt. En deze autodidact had het in het ambtelijke gebracht tot het hoogste ambt, dat er toen voor een Inlander was te bereiken, tot hoofddjaksa. Hij was een sieraad van het Inlandsche ambtenarencorps, mede door zijn zeer uitgebreide wetskennis verkregen voor zijn phenomenaal geheugen.

     In het begin van deze eeuw werd Boeja gepensioneerd, waarna hij zich te Batavia ging vestigen voor de verdere opvoeding zijner kinderen.

     Éen van hen is de bekende Hadji [Agoes] Saim de P.S.I.I. leiden.

     Al de Salims, zeide eens een bekend hooggeplaatst ambtenaar, spreken het Nederlandsch evengoed en even zuiver als de beste Nederlander. Drie andere zoons bereikten in Gouvernement dienst in hun betrekking eveneens het hoogste, hetgeen voor een Inlander in te bereiken.

     Waar Boeja zich ging vestigen, Batavia, Garoet en Medan, werd hij steeds tot lid van den Landraad benoemd. Door zijn groote wetskennis en kennis van den Islam was Boeja dan ook in vele zaken den aangewezen adviseur. Steeds gaf hij zijn adviezen gratis. In de bekende Medansche moskee-kwestie waarin het Delische zelfbestuur en de Moehamadijah scherp tegenover elkaar stonden, ongeveer twee jaren geleden, speelde Soetan Mohamad Salim eveneens een adviseerende rol. Hij was het, die, alles officieel behandeld willende zien, omtrent deze kwestie de opinie inwon van het Kantoor van Inlandsche Zaken te Batavia.

     In de laatste jaren was Boeja steeds sukkelende. Zijn gezicht een zijn gehoor gingen achteruit, waardoor hij niet meer voor de Landraads-zittingen werd aangewezen.

***

Laporan koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië (Batavia) edisi 13 November 1934 tentang wafatnya Soetan Mohamad Salim, seorang intelektual Minangkabau yang terkenal asal Koto Gadang. Laporan di atas menyebut beliau sebagai “De ‘vader’ van Minangkabauers” (ayah orang Minangkabau) (lihat juga De Indische Courant [Surabaya], 13-11-1934).

Memang semasa hidupnya Soetan Moehamad Salim adalah tempat bertanya dan mengadu orang Koto Gadang dan orang Minangkabau pada umumnya.

Soetah Moehamad Salim termasuk lelaki (mamak/ayah) Minangkabau generasi pertama yang menyerap sistem pendidikan Barat (Belanda). Ia yang hanya belajar secara otodidak dari ayahnya, Abdoel Rachman gelar Datoek Dinegeri Orang Kaja Besar, yang juga sudah mendapat pencerahan, dan selama 50 juga menjadi Hoofddjaksa di Padang.

Media vernakular pada waktu itu menyebut ayah-anak ini sebagai ‘hervormer’ (pembaharu) yang mengajak masyarakatnya mengubah kebiasaan dalam memandang dan memperlakukan anak dan kemenakan. Soetan Mohamad Salim menyekolahkan anak perempuannya ke sekolah sekuler ala Eropa/Belanda, hal yang tentunya sangat tabu pada masa itu.

Terjemahan bebas laporan di atas (disingkatkan) kira-kira sebagai berikut:

Pada usia 84 tahun, tgl. 5 November 1934, setelah lama sakit, Soetan Mohamad Salim, Hoodfdjaksa (Jaksa Kepala) di Riau dan jabatannya yang terbaru sebagai anggota Dewan Pertanahan di Medan, wafat di Medan.

Soetan Mohamad Salim, yang dipanggil ‘Buya’ (Ayah) oleh semua orang Minangkabau, adalah salah satu tokoh Minangkabau yang paling luar biasa, telah meninggal, demikian laporan De Sumatra Post.

Tanpa pernah bersekolah, Soetan Mohamad Salim telah memasuki dinas Pemerintah pada usia yang masih sangat muda – sekitar 68 tahun yang lalu [1866]. Dapat dikatakan bahwa beliau telah belajar membaca dan menulis selama berada dalam dinas pemerintah ini. Dan otodidak ini telah membawanya ke tingkat tertinggi dalam jabatan sipil Pemerintah yang dapat dijangkau oleh orang pribumi, yaitu sebagai Hoofddjaksa. Beliau adalah ‘perhiasan’ pegawai negeri Belanda, antara lain karena pengetahuannya yang luas tentang hukum dan karena daya ingatnya yang luar biasa.

Pada awal abad ini Buya pensiun, setelah itu ia pindah ke Batavia untuk pendidikan lebih lanjut untuk anak-anaknya.

Salah seorang anaknya adalah Hadji [Agoes] Salim, pemimpin P.S.I.I.

Semua anggota keluarga Soetan Mohamad Salim yang pernah menjadi pejabat tinggi terkenal dapat berbicara Bahasa Belanda, sebaik dan semurni bicara orang Belanda terbaik.

Tiga putranya yang lain juga mencapai tingkat tertinggi dalam pelayanan Pemerintah dalam pekerjaan mereka yang berhasil dicapai oleh penduduk asli.

Di manapun Buya pernah pergi untuk menetap, seperti di Batavia, Garoet, dan Medan, beliau selalu ditunjuk sebagai anggota Landraad. Karena pengetahuannya yang luas tentang hukum dan ilmu keislaman, Buya adalah penasihat yang ditunjuk dalam banyak kasus. Beliau selalu memberikan saran-sarannya secara gratis. Dalam kasus Mesjid Medan yang terkenal di mana Pemerintah Deli dan Muhamadiyah saling bertentangan satu sama lain, yang terjadi sekitar dua tahun lalu, Soetan Mohamad Salim juga memainkan peran sebagai penasihat. Beliaulah yang, karena ingin melihat segala sesuatu harus ditangani secara resmi, meminta pendapat Kantor Urusan Penduduk Asli (Kantoor van Inlandsche Zaken) di Batavia tentang masalah ini.

Dalam beberapa tahun terakhir, Buya terus berjuang. Wajah dan pendengarannya memburuk, sehingga beliau tidak lagi ditunjuk untuk urusan Landraads.

Berita Kota Gedang, No. 11, November 1934, Tahoen VI yang menurunkan obituari almarhum menulis:

SOETAN SALIM

    gelar

SOETAN MOEHAMAD SALIM

2 Augustus 1851 – 5 November 1934

dimakamkan dikota Medan dalam oesia 83 tahoen

beliau mempoenjai 83 orang ketoeroenan.

[…]

Inna lillahi wainna ilaihi radjioen.

Pada hari Isnajan tanggal 5 November 1934 malam kira2 pokoel 8, telah berpoelang beliau kerahmatoellah dalam oesia genap 83 tahoen, dengan meninggalkan seorang isteri jang masih hidoep, dan 83 orang anak, tjoetjoe, serta boejoet, jang sekalian adalah dalam selamat sedjahtera.

“D.B.” yang menulis obituari itu mencatat jasa-jasa almarhum, menyebut bahwa “[r]oemah tempat kediaman beliau di Tg. Pinang[Tanjung Pinang] mendjadilah satoe tempat pengharapan bagi kaoem kerabat beliau jang datang mendapatkan beliau dari K. G. [Koto Gadang]”, dan “boekan sadja oentoek kaoem keloearga beliau jang paling dekat, djoega sekalian orang K. G. jang lain jang datang ke Riau dengan maksoed mentjari djalan penghoedoepan dalam kalangan djabatan atau peroesahaan, pastilah akan memperoleh toendjangan dan nasheat jang berharga dari beliau.”

Soetan Mohamad Salim juga disebut sebagai “orang K.G. jang pertama tama kali menjempoernakan sikap kepada anak, jaitoe sikap seperti jang ditoentoet oleh agama kita: Islam.” Sungguhpun demikian, beliau tetap memperhatikan kemenakan: “djanganlah kita sangka bahwa kemenakan beliau atau kaoem beliau dari pehak toeroenan iboe, beliau belakangi semata mata. […] Beliau tak loepa akan mamang[an] orang toea toea.

    Kaloek pakoe katjang belimbing,

    Daoen sitapoe dilenggangkan,

    Anak dipangkoe kemenakan dibimbing,

    Oerang kampoeng petenggangkan.

Teranglah djadinja bahwa almarhoem ini seorang Islam K.G. sedjati. Anak dipangkoe dengan tenaga, kemenakan dimbimbing dengan nasehat[,] orang kampoeng dipetenggangkan dengan akal.

Banyak lagi jasa keluarga Soetan Mohamad Salim untuk Koto Gadang, seperti dicatat oleh “D.B.” Sekitar tahun 1920, Soetan Homamad Salim “dipilih dengan seoara rata oleh Vereeniging Studiefonds Kota Gedang mendjadi President dan perkoempoelan itoe.” Salah seorang putrinya juga telah “mendjadi djoeroe pendidik di K. G. [Koto Gadang].” Demikian juga dengan “poetera beliau Toean Hadji Agoes Salim” juga “telah toeroet memberikan tenaga oentoek sekolah S.K. G. (1912-1915).” Juga beliau sendiri ikut terjun membantu pendidikan di kampungnya: dikatakan bahwa “dizaman beliau itoelah S. K.G. mempoenjai moerid sampai ± 230 orang.”

Anak perempuan Soetan Mohamad Salim yang dipanggil ‘Tante’ oleh orang Koto Gadang juga mempin sekolah di kampungnya itu yang disebut ‘Sekolah Tante’. “Terang poelalah djadinja bahwa djoea poeteri beliau seperti ajahda dan nenekda beliau poen telah djadi seorang hervormster poela dalam kampoengnja”, tulis “D.B”.

Demikianlah dulu perlakuan seorang intelektual Minangkabau terhadap anak kemenakan, sanak famili, orang kampung, orang seetnis dan kepada bangsanya secara umum. Oleh sebab itu pulalah semua orang menaruh hormat dan respek kepadanya. Sifat bijak seperti itu mungkin sulit ditemukan pada masa sekarang.

Dr. Suryadi – Leiden University, the Netherlands / Padang Ekspres, Minggu 17 November 1932


Leave a comment

Categories