Posted by: niadilova | 13/11/2017

PPM #133: Pemakaian Bahasa Minangkabau sebagai ‘Voertaal’ di Sekolah (1927)

Berhoeboeng dengan pertanjaan Inspecteur Inl. Onderwijs di Fort de Kock, tentang voertaal jang disoekaï orang oentoek sekolah-sekolah Boemipoetera di Soematera Barat, maka vergadering dari engkoe-engkoe goeroe dan kepala-kepala negeri serta amtenar-amtenar Negeri di Loeboeksikaping memoetoeskan menjoekaï bahasa Minangkabau dari pada bahasa Melajoe. (P. D.).”

***

Laporan majalah Pandji Poestaka, No. 28, Tahoen V, 8 April 1927: 469 [Kronik]) tentang vergadering (pertemuan) para guru dan kepala-kepala negeri di Lubuk Sikaping tentang pemakaian Bahasa Minangkabau sebagai bahasa pengantar (voertaal) di sekolah. Rupanya mereka menyukai Bahasa Minangkabau dipakai sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah bumiputera di Sumatera Barat.

Ini tampaknya pretext dari kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda yang akan memperkenalkan bahasa daerah sebagai voertaal di sekolah-sekolah rendah, menggantikan peran Bahasa Melayu. Untuk mengimplementasikan rencana ini, pada bulan Juni 1930 Pemerintah mengutus linguis M.G. Emeis ke Minangkabau. Ia ditunjuk menjadi Kepala Sekolah Radja (Kweekschool) Fort de Kock dan menulis 3 seri buku yang kemudian terkenal di kalangan anak-anak sekolah di Minangkabau, yaitu: Lakeh Pandai (4 jilid) Kini Lah Pandai (4 jilid) dan Dangakanlah (2 jilid).

Akan tetapi apa yang terjadi kemudian adalah bahwa seri buku bahasa Minangkabau karangan Emeis itu ditolak dan dikritisi oleh sebagian besar intelektual dan guru-guru di Sumatera Barat. Buku Lakeh Pandai dipelesetkan menjadi Lakeh Pandia. Pendidik dan intelektual Abdoel Aziz Soetan Kenaikan mewakili para penentang bahkan membawa kasus ini ke sidang Minangkabau Raad. Inti petisinya: meminggirkan Bahasa Melayu dan menggantikannya dengan Bahasa Minangkabau sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah rendah di Sumaera Barat adalah sebuah langkah mundur. Orang Minangkabau sudah lama memakai Bahasa Melayu dalam tulis dan lisan dalam situasi formal. Kisah penolakan terhadap program Pemerintah Kolonial Belanda dan buku-buku karangan Emeis ini sudah saya eksplorasi dalam artikel saya “Vernacular Intelligence: Colonial Pedagogy and the Language Question in Minangkabau”, Indonesia and the Malay World 34(100) 2006: 315-344.

Dr. Suryadi – Leiden University, Belanda / Padang Ekspres, Minggu 12 November 2017


Leave a comment

Categories