Posted by: niadilova | 09/11/2009

Siti Baheram: Dari Peristiwa Nyata ke Kaba

siti-baheramJika mendengar kata kaba, sebagai salah satu produk sastra lisan Minangkabau, maka orang akan cepat menghubungkannya dengan fiksi. Kaba dianggap sebagai cerita dari mulut ke mulut, jika si pencerita terdahulu bohong, maka ia tidak bertanggung jawab (Kaba urang kami kabakan, Duto urang kami tak sato).

Orang mungkin lupa bahwa ternyata ada kaba yang diangkat dari sebuah peristiwa yang benar-benar pernah terjadi di masa lampau. Salah satu di antaranya adalah ‘Kaba Siti Baheram’. Kaba ini hanya diceritakan dalam pertunjukan sastra lisan rabab Pariaman yang wilayah apresiasinya secara tradisional adalah di Rantau Pariaman. Dan latar ‘Kaba Siti Baheram’, seperti akan dijelaskan di bawah, memang di wilayah Pariaman, Sumatra Barat.

Rabab Pariaman adalah seni bercerita dengan teks berbentuk prosa lirik. Bahasanya penuh kiasan dan arkhais (Witnayetti 1992; Suryadi 1998), berbeda dengan bahasa teks rabab Pasisia yang terkesan modern. Tentu saja dalam teks seperti itu selalu ditemukan pantun, seperti pada bagian pembukaan, pengalihan cerita, dan pada bagian penutup. Pantun juga penting sebagai bagian dari ekspresi formulaik (formulaic expression). Pertunjukan rabab Pariaman diiringi dengan alat musik rabab galuak (rebab yang badannya dibuat dari tempurung kelapa).

Rabab Pariaman umumnya menceritakan kaba klasik yang berlatar kerajaan, dengan tokoh-tokoh yang punya kekuatan supranatural, seperti ‘Gombang Patuanan’, ‘Sutan Binu Alim’, ‘Anggun Nan Tongga Magek Jabang’, ‘Sutan Gando Hilang’, dan ‘Sutan Pangaduan’. Beberapa di antara kaba tersebut sudah dikasetkan oleh perusahaan rekaman Tanama Records pada tahun 1980-an dan 1990-an. Sekarang sudah pula diproduksi VCD komersial rabab Pariaman.

Selain menceritakan kaba, rabab Pariaman juga menceritakan teks non kaba yang biasanya diberi judul ‘Raun Sabalik’ atau ‘Jalan Kuliliang Bilang Nagari’. Teks ini terdiri dari untaian pantun yang membilang (menceritakan) nagari-nagari di rantau Pariaman dengan segala kekhasan budaya dan masyarakatnya masing-masing.

‘Kaba Siti Baheram’, yang diangkat dari kenyataan yang benar-benar pernah terjadi di Pariaman, termasuk golongan kaba modern/baru (Tentang kaba klasik dan kaba modern, lihat Umar Junus 1984). Inilah satu-satunya kaba modern yang diceritakan dalam pertunjukan rabab Pariaman. Tanama Records, salah perusahaan rekaman yang terpenting di Sumatera Barat yang terletak di Padang, membuat rekaman komersial ‘Kaba Siti Baheram’ (panjangnya 4 kaset) pada tahun 1990-an dengan tukang rabab (storyteller) Aly Umar (lihat ilustrasi).

Yang menjadi dasar cerita ‘Kaba Siti Baheram’ adalah pembunuhan keji yang dilakukan oleh seorang lelaki bernama si Joki terhadap seorang perempuan muda bernama Siti Baheram asal Sungai Pasak, Pariaman. Peristiwa itu terjadi pada bulan November 1916. Si Joki, yang masih termasuk kerabat Siti Baheram, adalah seorang penjudi. Bersama temannya yang bernama si Ganduik, ia membunuh Siti Baheram, yang justru sering memberinya makan dan minum. Motifnya adalah untuk menguasai perhiasan Siti Baheram untuk dipertaruhkan di lapak judi.

Sebuah media yang terbit di Padang melaporkan peristiwa pembunuhan itu:

“KEDAPATAN MAIT. Kita poenja correspondent di Priaman kabarkan: Pada petang Saptoe malam Minggoe 11 djalan 12 November jang soedah, telah kedapatan oleh orang mait seorang perempoean di Batang Soengai Pasak Priaman. Ada poen perempoean itoe namanja si Baheram oemoer kira-kira 20 tahoen, pada hari jang terseboet hendak poelang ke roemahnja di Soengai Pasak dari roemah mertoeanja di Kota Marapak dengan memakai pakaijan 1 pasang gelang mas harga kira-kira f 100, sepasang anting-anting mas harga f 18, 3 penitie perak harga f 5, satoe toesoek konde harga f 3. Maka matinja perempoean itoe roepanja adalah bekas di aniaja oerang, karena pada atas telinganja sebelah kanan ada loeka dan lehernja bekas diikat dengan ramboet dan badjoenja, djoega semoea barangnja jang dipakainja itoe tida ada lagi, boleh djadi matinja itoe karena orang hendak mengambil barangnja.

Maka pada hari Minggoe mantri politie bersama kepala negeri di sana telah datang boeat pereksa dan tjari keterangan dalam hal pemboenoehan itoe, pada hari Senen telah dapat keterangan jaitoe jang tertoedoeh doea orang anak negeri nama si Gandoei (si Ganduik, si Gendut; Suryadi) dan si Djoki, dan pada bajoe si Djoki ada kedapatan bekas darah begitoe djoega selendang perempoean itoe kedapatan poela di rumah si Djoki. Si Gandoei telah mengakoe melakoekan pekerdjaan itoe berdoea dengan si Djoki. Kabarnja si Gandoei dan si Djoki itoe ialah oerang soedah termashoer pendjoedi; begitoe djoega pada hari Saptoe itoe kedoea oerang telah dapat banjak kekalahan main di medan djoedi” (Sinar Sumatra, 16- 11-1916).”

Pemerintah Kolonial Belanda di Pariaman akhirnya menghukum gantung si Joki. Sedangkan si Gandoei, yang dipaksa oleh si Joki ikut dalam pembunuhan itu, dihukum penjara beberapa tahun.

Kasus si Joki ini sangat terkenal pada waktu itu, sehingga pernah terbit ceritanya yang berjudul Sjair Tjerita SITIBAHERAM: pemboenoehan jang ngeri di Pariaman I en II (Padang: Penerbit Orang Alam Minangkabau, 1921) (Soenting Melajoe 28-1-1921). Tahun 1964 kaba ini diterbitkan lagi oleh Pustaka Arga Bukittinggi, dengan pencerita Sjamsoeddin St. Radjo Endah (tapi diberi label kaba klasik). Selain itu, Kaba Siti Baheram seringkali pula diangkat menjadi sandiwara, baik di zaman sandiwara ala komedi stamboel dulu maupun teater modern pada masa sesudahnya, malah ada juga yang menjadikannya sebagai bahan inspirasi untuk gubahan tari.

Pembunuhan Siti Baheram itulah yang kini terekam dalam salah satu kaba yang dipertunjukkan dalam rabab Pariaman, yaitu ‘Kaba Siti Baheram’. Sedangkan nasib si Joki yang mati digantung, tetap dikenang orang Pariaman sampai sekarang seperti terfleksi dalam bait pantun lagu Kim yang khas Pariaman:

“Ka bukik tanamlah padi / Ditanam anak Bintuangan / Lah malang untuang si Joki / Tatagak tiang gantuangan”(Ke bukit tanamhlah padi / Ditanam anak Bintungan / Malanglah nasib si Joki / Berdiri tiang gantungan) (dikutip dari VCD Karaoke KIM-Pantun dan Lagu: ‘Raja Doli’ oleh S. Effendy Koto; Sinar Padang, 2002?).

Tampaknya ‘Kaba Siti Baheram’ mengandung pesan moral tentang buruknya efek judi terhadap diri seseorang dan masyarakat. Judi dapat menyengsarakan sanak keluarga dan diri sendiri.

Suryadi, alumnus Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra Univesitas Andalas, pengajar di Leiden University, Belanda

* Dimuat di harian Padang Ekspres, 8 November 2009


Leave a comment

Categories