Posted by: niadilova | 27/03/2017

Minang saisuak #295: Murid-murid Kweekschool Fort de Kock, 1888

Murid2 Kweekschool Fort de Kock 1888 [Nawawi & Kramer 1908, p.26]

Foto klasik untuk rubrik Minang Saisuak kali ini membawa pembaca ke Bukittinggi 129 tahun lalu. Foto ini mengabadikan murid-murid Kweekschool Fort de Kock dengan guru-guru mereka pada ‘HET JAAR 1888’ (tahun 1888). Di latar depan terlihat tiga orang guru Eropa dan tiga guru pribumi. Pada tahun itu tercatat: J.L. van der Toorn (duduk, no. 3 dari kanan) sebagai Direktur, J. Ennen (no. 3 dari kiri) sebagai Guru Kelas 2/Tweede Onderwijzer), G.J.F. Biegman (no. 2 dari kiri)  dan Nawawi St. Makmoer (no.1 dari kiri)  sebagai Europesche Onderwijzers/Guru Eropa; Nawawi mendapat keistemawaan: ia digolongkan sebagai Guru Eropa karena kacakapannya yang sudah dianggap selevel dengan guru-guru Eropa), Si Daoed Radja Medan (no. 1 dari kanan) dan Dt. Pada Besar (no. 2 dari kiri) sebagai Inlandsche Onderwijzers (Guru Pribumi).

Menulis Nawawi dan Kramer dalam sumber yang disebutkan di bawah: Setelah 35 tahun berdiri, pada 1873 Kweekschool Fort de Kock di-upgrade di bawah Guru Kepala Gerth van Wijk. Pada tahun itu jumlah muridnya tercatat hanya 15 orang. Mereka tidak berasal dari Gouvernement Sumatra’s Westkust saja, tapi juga dari luar daerah, seperti Bangkaholoe, Lampoeng, dan Poelau Nias. Beberapa murid yang dikirim kemudian dipulangkan karena tidak lulus tes kualifikasi (hlm. 20-21).

“Pengadjaran bahasa Belanda teramat soekar bagi moerid-moerid itoe, teroetama tentangan seboetannja dan lagoenja, lebih-lebih karena mereka itoe kabanjakan soedah beroemoer; ada jang lebih dari 20 tahoen” (hlm. 21). Ternyata sudah sejak dulu lidah Melayu sulit mengucapkan Bahasa Belanda.

Tahun 1876 jumlah murid menjadi 41 orang yang terbagi atas 3 kelas. “Pada klas jang tinggi moerid-moerid beroleh peladjaran teroetama dari goeroe kepala; jang mengadjar dikelas II goroe kedoea; dan dikelas III goeroe ketiga. Goeroe Melajoe mengadjarkan menoelis, ‘ilmoe bahasa Melajoe dan berhitoeng sedikit-sedikit” (hlm. 23).

Tahun 1884 banyak kerugian dialami oleh sekolah ini, terutama karena kebijakan Verkerk Pistorious, Inspecteur-honorair yang dikirim oleh Batavia untuk melakukan akreditasi terhadap Kweekschool Fort de Kock. Dia berpendapat agak negatif terhadap sekolah ini. Sebagai akibatnya, antara lain pengajaran Bahasa Belanda dihapuskan, satu kebijakan yang sangat merugikan sekolah ini. Pada tahun 1894 (20 tahun kemudian) barulah Bahasa Belanda baru diajarkan kembali di Kweekschool Fort de Kock (hlm. 23, 28).

Demikianlah sedikit kisah tentang Kweekschool Fort de Kock. Sekolah yang memakai sistem asrama ini telah memainkan peran penting dalam sosialiasi sistem pendidikan sekuler dalam masyarakat Minangkabau di sejak paroh kedua abad ke-19. Cerita yang lebih lengkap tentang sekolah ini dapat dibaca dalam buku sumber yang menjadi rujukan esai ini. (Sumber foto: [Nawawi St. Makmoer dan T. Kramer], Gedenkboek Kweekschool Fort de Kock / Kitab Peringatan Sekolah-Radja Boekit-Tinggi, 1873-1908. Arnhem:  G. J. Thieme, 1908: 26).

Suryadi – Leiden, Belanda / Singgalang, Minggu, 26 Maret 2017


Responses

  1. […] Dicopas dari blog engku Dr. Suryadi Sunuri: https://niadilova.wordpress.com […]

  2. Silakan Uwan. Mohon disebutkan saja sumbernya: blog ambo ini. Sukses selalu hendaknya. Amin!


Leave a comment

Categories