Posted by: niadilova | 07/04/2014

Renung #10 | Pemilu

Pemilu (pemilihan umum) pertama kali mencigap ke dalam kesadaran politik bangsa Indonesia tahun 1955. Sebanyak 29 partai ikut bertarung dalam pemilu pertama di Republik Indonesia itu. Pemilu itu dinilai paling demokratis, mungkin karena begitu banyaknya partai politik yang ikut dalam pertarungan untuk memperebutkan 260 kursi MPR dan 520 kursi anggota Konstituante plus 14 wakil golongan minoritas. Selebihnya adalah sebuah dasar dari kecenderungan umum yang berlaku dalam pemilu-pemilu Indonesia di masa-masa sesudahnya, baik di Zaman Orde Baru maupun di Zaman Reformasi: kemenangan partai yang berkuasa (incumbent) atas lawan-lawannya. Dalam Pemilu 1955 Partai Nasional Indonesia (PNI), partainya Presiden Sukarno, memimpin perolehan suara di urutan pertama, disusul oleh partai-partai lainnya.

Pemilu 1955 telah menghadirkan untuk pertama kalinya sebuah eforia baru yang bernama ‘pesta demokrasi’ yang melibatkan massa, menyengat jaringan saraf pusat dan kesadaran kawula yang sudah begitu lama terkungkung dalam tekanan laras senapan penjajah dan sudah turun-temurun hidup dalam lingkungan feodal di bawah perintah segelintir orang berdarah biru yang mengaku sebagai wakil Tuhan di dunia. Dan sebagaimana kita lihat dalam foto-foto tua, pesta demokrasi pertama di Indonesia itu juga memproduksi ribuan spanduk dan gambar-gambar partai politik (waktu itu memajang foto wajah para caleg belum lagi populer) yang menyampah di mana-mana, terutama di kota-kota, yang tidak berbeda jauh dengan apa yang kita saksikan di masa sekarang.

Kemerdekaan Indonesia telah menggoyang hegemoni hubungan kawula-tuan yang sudah lama bersarang sampai ke alam bawah sadar manusia Indonesia. Dalam hitungan tahun saja, kerajaan-kerajaan lokal di seluruh negeri dicampakkan dan para bangsawan lokal kehilangan kuasa dan marwahnya. Kini lewat pemilu, rakyat diberi kesempatan untuk mengenal dan merasakan sebuah kesadaran baru yang sangat abstrak: mewakili dan diwakili, di mana pihak pertama dipercaya dapat mengelola kehendak dari pihak kedua (konstituen), tetapi dalam sebuah kontrak yang hanya bersifat manasuka (arbitrer). Sebuah benda asing yang bernama partai politik hadir sebagai barang mainan baru bagi para kawula yang baru merdeka. Tetapi lebih dari itu, sistem keterwakilan yang diwujudkan melalui pemilu, sebuah jalan yang diyakini dapat menumbuhkan demokrasi, jelas menuntut kesetiaan: rasa tanggung jawab penuh untuk menjalankan amanat dari orang lain, pitaruah nanbaunyian’ (petaruh yang ditunggui), kata sepotong pepatah Minangkabau.

Jadi, kurang dari 60 tahun lalu rakyat Indonesia yang hidup bersuku-suku dan kebanyakan masih buta huruf itu baru mendapat kesempatan memahami hakekat mewakili dan diwakili secara politik. Pemahaman absurd tentangnya terlupakan karena rasa riang sebab baru terlepas dari belenggu penjajahan beratus tahun. Hal itu jelas merupakan pengalaman baru bagi mereka. Dan seperti dapat dikesan sampai sekarang, keterwakilan politik itu belum juga meresap ke dalam darah daging bangsa ini, sebab sebelumnya yang dikenal hanyalah tubuh-tubuh tanpa hak dan tanpa suara dalam kerumunan hamba-kawula yang hidup hanya atas kemauan dan kebaikan segelintir manusia yang dipanggil ‘Tuan’ atau ‘Yang (Maha) Mulia’.

Pada bulan ini, tepatnya 9 April 2014, untuk kesekian kalinya bangsa Indonesia mengadakan pemilu. nasional. Sementara itu, pilkada telah meruyak di berbagai daerah pasca tumbangnya Orde Baru. Namun satu hal belum juga dapat dipahami oleh yang dipilih maupun yang memilih: apakah sesungguhnya hakekat perwakilan? Apa pikiran yang mewakili terhadap yang diwakili? Begitu juga sebaliknya. Wacana publik yang terus berulang seputar pemilu adalah: setelah terpilih, wakil rakyat melupakan rakyat(nya). Mereka asyik dengan dunianya sendiri, sementara rakyat yang dulu memilihnya juga tenggelam dalam dunianya sendiri. Konsistensi pemenuhan kontrak politik dan janji-janji antara kedua belah pihak terlupakan begitu pemilu – mekanisme untuk membuat kontrak politik antara kedua belah pihak – selesai dan meninggalkan sampah foto-foto caleg dan spanduk-spanduk partai yang bertebaran dimana-mana.

Dengan kata lain, pemilu dalam konteks budaya dan kesadaran politik bangsa Indonesia memiliki kultur dan logikanya sendiri. Sebagaimana halnya berbagai unsur yang diadopsi dari luar (budaya, politik, ideologi, teknologi), pemilu mengalami domestikasi mengikuti alam pikiran dan budaya masyarakat Indonesia.

Yang kita lihat adalah: sebuah nasion yang memiliki berbagai macam penanda kelompok (etnisitas, agama, status sosial, dll.) dan tinggal dalam sebuah wilayah geografis yang achipelagic, yang menempuh kehidupan politik modern dengan meminjam demokrasi dari tanah asing. Melalui pemilu, demokrasi itu coba mereka telan, tapi tak kunjung menjadi darah-daging, melainkan hanya menjadi ‘berak’ korupsi, gontok-gontokan bakaruak arang, dan aksi bakar-bakaran. Tentu kita berharap bahwa Pemilu 2014 akan menghasilkan sesuatu yang lebih dari sekedar ‘cirit’ busuk itu.

Suryadi Leiden University, Belanda | Padang Ekspres, Minggu, 6 April 2014


Leave a comment

Categories